Senja Ketujuh: Dewa & Dewi

Hasil gambar untuk greek gods painting
(Gambar diambil dari iGreekMythology)



Sobat senja, kali ini kita akan mengenal tentang konglomerasi dan korporasi media yang bisa kita sebut sebagai para petinggi yaitu dewa dan dewi, karena merekalah yang memberi dampak besar terhadap media, kuasa nya pun dibuktikan dengan berhasil nya "dewa dan dewi" ini memanipulasi hal yang tidak benar menjadi "benar", seperti di dongeng-dongeng, ada dewa dan dewi yang baik dan ada pula yang jahat. Mulai dari sejarah hingga studi kasus mari kita pelajari bersama!


SEJARAH INDUSTRI MEDIA DI INDONESIA

Pada saat Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di akhir tahun 1960-an, intervensi terhadap media mulai dilakukan oleh pemerintah. Peraturan yang ketat diberlakukan untuk mencegah media melawan pandangan pemerintah. Perusahaan-perusahaan media dimiliki oleh para pejabat pemerintah atau mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Soeharto. 


Pada saat itu, ideologi politik sangat mendominasi media. Contohnya idustri pers harus menghadapi serangkaian pembreidelan untuk berita-berita yang bertentangan dengan pemerintah, seperti kompas, tempo dan sinar harapan. Contoh lain adalah televisi. Pada masa itu, hanya ada satu televisi, dan dimiliki oleh pemerintah, yaitu TVRI, di mana semua kontennya dikendalikan secara penuh oleh pemerintah. Setelah televisi swasta diizinkan, televisi swasta pertama, RCTI, dimiliki oleh anak laki-laki Soeharto yang ketiga, Bambang Trihatmodjo. Kemudian SCTV menyusul sebagai stasiun televisi swasta kedua di Indonesia yang dimiliki oleh Sudwikatmono, sepupu Presiden Soeharto.


REGULASI MEDIA

Dalam industri media terdapat dua besar payung hukum yakni Undang-undang tentang Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Undang-undang tentang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002.


KONGLOMERASI MEDIA

Pertumbuhan industri media massa terus berkembang pasca lengsernya masa Orde Baru pada tahun 1998, namun jauh sebelum itu, sebenarnya pertumbuhan media massa telah ada sebelum reformasi, hal itu ditandai dengan keterlibatan Presiden Soeharto, dimana pada tahun 1989, RCTI yang merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia didirikan oleh putra ketiga Presiden Soeharto yaitu Bambang Trihatmodjo, begitu pun dengan televisi swasta kedua dan ketiga yaitu SCTV dan TPI yang masing masing didirikan oleh Henri Pribadi dan Sudwikatmono (sepupu Presiden Soeharto), dan TPI yang didirikan oleh Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan putri Presiden Soeharto pada tahun 1990.

Konglomerasi Media sendiri merupakan kekuasaan dalam kepemilikan berbagai perusahaan media massa, baik berbentuk cetak, online, maupun elektronik. Contoh dari konglomerasi media adalah CT Group yang membeli salah satu media online independen yaitu Detik.com ke dalam perusahaannya pada tahun 2011 silam. Detik.com sendiri merupakan media online nomor satu di Indonesia yang memberikan informasi berita secara cepat dan terpercaya, meskipun sudah hadir banyak media online lainnya, detik masih meraup banyak pembaca, belum lagi dengan iklan yang ada di dalamnya. Hal tersebut tentu menjadi sebuah keuntungan bagi CT Group yang selama ini telah membawahi Trans TV dan Trans 7, sehingga memenuhi kelengkapan media yang dimilikinya. Namun persaingan konglomerasi yang semakin menjamur itu justru menimbulkan ancaman lain bagi kebebasan pers di Indonesia, karena setting dan manajemennya yang harus menyesuaikan dengan kepemilikan media itu sendiri, sehingga mengakibatkan keberadaan pemilik media massa di ruang redaksi menjadi sangat dominan, belum lagi media massa yang kini hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik dan bisnis, dengan menjatuhkan lawan dan mempromosikan bagian dari kepemilikannya, yang menyebabkan menurunnya tingkat kredibilitas berita yang semestinya.

Untuk saat ini dan dalam waktu dekat, konvergensi media akan mengintegrasikan semua kanal media di mana hal ini akan, dan pasti, menjadi penggerak yang potensial untuk terjadinya konglomerasi. Konvergensi media sendiri merupakan penggabungan media yang sebelumnya terpisah, seperti media cetak, online, maupun elektronik, kemudian menjadi satu ke dalam sebuah media tunggal yang memiliki tujuan yang sama.

Adapun kelompok kelompok yang melakukan konglomerasi melalui konvergensi media yaitu:
  1. MNC Group
2.      Jawa Pos Group
3.      Kompas Gramedia Group
4.      Mahaka Media Group

ISU ISU UTAMA INDUSTRI DI MEDIA INDONESIA

Adapun isu isu utama terkait industri media di Indonesia, yang pertama adalah konten. konten menjadi sebuah isu yang menghubungkan aspek-aspek dalam media dari produksi hingga distribusi.Konten media adalah media itu sendiri dimana warga terlibat didalamnya. konten media menjadi sangat tergantung pada rating yang mencerminkan “keinginan manusia yang terekayasa” daripada “kebutuhan manusia”.

Yang kedua adalah perkembangan teknologi-ekonomi.

Yang ketiga adalah kebijakan media. Kebijakan yang ada saat ini saat tertinggal di belakang perkembangan bisnis media. Yang ke empat adalah bias terwakilakan. Media Indonesia kini semakin merujuk pada kepentingan pasar ketimbang kepentingan informasi. Yang terakhir adalah profesionalisme para jurnalis. Jurnalisme merupakan profesi yang memiliki fungsi sosial untuk menyampaikan berita dan informasi pada khalayak. Jurnalis memiliki pengaruh tentang apa yang diinfomasikan kepada warga. Berita yang dibuat oleh jurnalis akan cenderung subjektif dan mengesampingkan realitas karena ia menyampaikan tafsirannya berdasarkan kepentingan-kepentingan yang ada.


KONVERGENSI MEDIA

Konvergensi media menurut Lawson-Borders (dalam Nugroho, Putri & Laksmi, 2013) merupakan suatu usaha untuk menggabungkan media konvesional dan media baru, untuk menyebarkan informasi, hiburan dan berita. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, konvergensi media juga dapat berarti sebuah upaya untuk menimbulkan adanya keselarasan dan kesamaan dalam hal konten dari setiap platform-platform media tertentu. Media-media tersebut tergabung menjadi satu dan memiliki satu tujuan yang sama.
       
     Agar konvergensi media itu sendiri dapat terwujud, perlu adanya usaha untuk menggabungkan ruang redaksi dari masing-masing kanal media yang berbeda, ke dalam satu ruang redaksi yang sama. Upaya ini akan mempermudah kelompok media tersebut dalam memproduksi suatu konten yang sama karena ruang redaksi itu sendiri memiliki fungsi untuk menyelaraskan konten-konen yang diproduksi.

.Konvergensi media memiliki hubungan yang erat dengan konglomerasi media. Meskipun konglomerasi media lebih mengacu pada strategi bisnis, sedangkan konvergensi media lebih mengacu pada basis teknologi yang digunakan untuk mengakses media tersebut, namun keduanya memberikan dampak yang sama terhadap masyarakat sekitar.

Selain itu, adanya konvergensi media ini juga mengakibatkan berkurangnya variasi konten karena penyeragaman oleh kanal-kanal media. Konvergensi media juga menjadi tantangan yang baru yang harus dihadapi oleh para jurnalis. Mau tidak mau, para jurnalis dituntut untuk lebih professional dalam mengoperasikan alat-alat teknologi. 










UPAYA PENANGGULANGAN OLEH PEMERINTAH TERHADAP KOVERGENSI MEDIA
            
          Konvergensi media yang terjadi dalam bidang industri media pada masa ini sudah terbukti banyak memberikan dampak buruk, termasuk kurangnya keberagaman konten yang beredar dalam masyarakat. Namun, sampai saat ini pun belum ada regulasi yang jelas yang mengatur permasalahan ini.  Zulviani (dalam Nugroho, Putri & Laksmi, 2013) yang merupakan anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATSI), pun mengatakan bahwa tidak ada peraturan untuk mengendalikan struktur bisnis media.


KONTEN DAN MEDIA
Pada dasarnya, konvergensi dan konglomerasi media memiliki tujuan untuk memperoleh simpati publik dalam jumlah yang lebih banyak melalui konten yang mereka produksi. Maka, semakin banyak kanal media yang tergabung, semakin banyak pula simpati publik yang mereka peroleh. Namun, sayangnya orientasi mereka hanya mengarah pada profit atau keuntungan. Subjek ‘mereka’ yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang memegang saham terbesar atau bahkan pemilik media itu sendiri. Hal ini jelas menjadi dampak negatif lainnya dari akibat adanya konglomerasi dan konvergensi itu sendiri.

Kecenderungan pemilik media yang mengutamakan modal tersebut justru malah merugikan masyarakat sendiri. Masyarakat pada dasarnya berhak untuk mendapatkan konten-konten yang bersifat edukatif dan berkualitas, namun nyatanya, fakta berbicara lain. Berdasarkan survei Nielsen dalam buku Nugroho, Putri & Laksmi (2013) berjudul Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer Di Indonesia, mengatakan bahwa sinetron memegng angka tertinggi dengan sebanyak 26% sebagai tayangan yang paling banyak ditonton oleh masyarakat. Sinetron menjadi konten yang paling banyak disiarkan oleh media-media di Indonesia (seperti RCTI dan MNC TV, Indosiar dan SCTV), padahal seperti yang kita lihat sendiri, konten dari sinetron-sinetron tersebut justru tidak berkualitas dan edukatif. Kembali lagi, semuanya berbalik pada orientasi utama yaitu profit. Media hanya berfokus pada rating tinggi karena melalui rating tersebut, mereka dapat memperoleh profit yang besar pula.

Tidak hanya konten secara garis besar, iklan juga menjadi faktor lain bagi media dalam mencari profit. Melalui iklan, media-media tersebut bisa memperoleh pemasukkan yang sangat banyak. Pada saat ini, iklan dapat muncul di mana saja dan di media mana saja, mulai dari surat kabar, media online, radio, sampai televisi. Dalam televisi misalnya, tercantum dalam Draft Revisi Undang-Undang Penyiaran 19 Juni 2017 Pasal 142 yang menyatakan bahwa waktu siaran untuk iklan spot untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 30% dari seluruh waktu siaran per tahun. Angka tersebut naik sebanyak 10% dari UU Penyiaran tahun 2002 yang membatasi iklan agar tidak lebih 20% dari total waktu siar. Terbukti, kini iklan di televisi sudah sangat banyak dan bahkan ada juga yang diselipkan dalam program-program mereka sendiri, seperti sinetron.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer